Siang sebentar lagi akan sempurna
menggantikan malam.Subuh masih menyisakan titik-titik air yang jatuh dari udara
yang menusuk tulang.Pagi masih terang-terang tanah.
Pardi berpijak hati-hati menuruni
pohon kelapa.Tataran pohon kelapa yang dipijaknya masih dilapisi oleh
embun.Terlihat ember bekas tempat cat menggantung di pinggangnya.
Ia berhenti sejenak di kaki
pohon.Dilemparnya pandangan ke hadapannya.Terlihat pohon kelapa yang tinggi
menjulang tertutup kabut terlihat remang-remang,
“Saya mau membantu mengambil legen,
mbah….”
Kembali terngiang ditelinga Pardi
suara bocah itu tadi malam.Selalu ada tetes-tetes hangat yang mengalir di
pipinya setiap kali mendengarnya.
“Mbah ?”
Ya, sepantasnyalah cucunya berkata
demikian.Sudah dua bulan mereka tidak mendapat uang untuk membayar uang
SPP.Sudah hampir satu tahun mereka tidak pernah mendapat uang saku.
Bahan makanan sangat mahal.Haruskah
ia menyalahkan Heru yang tidak kunjung mengiriminya uang.Atau Umi yang tidak
meu tinggal bersama mereka.
Lalu... Pak Hambali ? Salah lelaki
itukah semua ini.
Tidak! Suara hati Pardi segera
membantah.Memang Heru anaknya pergi ke Malaysia bersama Bapak Hambali.Tetapi
semua itu juaga untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik lagi.
“Do’akan saja aku, Pak.Aku dan Umi akan
berusaha mengirim uang untuk Ibu dan Bapak.Dan untuk anak-anaklah kami berdua
pergi merantau.”Begitu terngiang di telinga Pardi kata Heru dan menantunya,
dulu ketika akan pergi.
***
“Sudah Mbah bilang, kalian tunggu di
rumah saja, ya.Nanti sebelum maghrib Mbah pulang.”
Anak itu berlarian di dekat
Pardi.Seperti tak memedulikan kakeknya, dan masih juga membawa ember bekas cat
di tangannya.
“Imam, kamu dengar mbah tidak? Cepat
bawa adikmu pulang.”
“Nggak mau! Imam nggak mau pulang!
Imam mau di sini menemani Mbah” Anak laki-laki itu tetap duduk di bawah pohon
kelapa.Menemani.
“Tadi disuruh disuruh mbah putri
menemani mbah ngambil legen, mbah”
Itulah pekerjaan Pardi, mengambil
legen dari dangu pohon kelapa.Sedangkan di rumah Sulastri istri Pardi memasak
legen menjadi gula merah.Orang-orang memerlukannya untuk memasak sampai membuat
kue tradisional.Setiap pagi dan sore ia akan mengambil legen pohon kelapa.Dan
siang harinya dia harus mencari kayu bakar untuk memasak legen dibantu cucu
pertamanya.
Pardi bekerja seperti itu untuk
menghidupi istri dan cucunya.Juga membiayai sekolah Andik yang kini sudah kelas
kelas satu sekolah menengah.Tahun ini Lia akan masuk sekolah dasar.Pardi belum
memeikirkan dari mana mendapat uang untuk mendaftarkannya.
Tanaga lelaki tua itu sanggup
menaiki lima belas pohon kelapa setiap hari.Ibu Jami akan menggeleng-gelengkan
kepala setiap kali mengambil pesanan gula merah di rumahnya. “Kamu benar-benar
kuat Pak.Kerja kamu seperti anak muda saja,”ujar Ibu Jami.
Pardi hanya tersenyum, menerima
lembaran-lembaran uang dari tangan perempuan bos gula merah itu.
“Bagaimana kabar Heru Pak?”
Pardi mengangkat kepalannya. “Baik,”
ucapnya pelan.
“Kerja apa dia di sana?”
“Tidak tahu.”
“Apa tidak parnah mengirim kabar?”
Pardi hanya bisa menggeleng, membuat
dahi Ibu Jami tercipta keru-kerutan.
Ia memang tak bisa menjawab semua
pertanyaan tenteng anak dan menantunya, sebab memang ia sendiri tak begitu
mengerti.Yang ia tahu anak dan menantunya pergi bekerja di Malaysia.Mungkin
sebagai kuli bangunan atau menjadi buruh pabrik.
“Sudah berapa lama mereka pergi,
Pak?”
“Sudah hampir dua tahun”
Wajah Ibu Jami menyiratkan ketidak
mengertian.Masih penasaran.Tetapi ia tidak bertanya lagi.Maka bersyukurlah
Pardi dalam hati.Ia memang tak begitu suka orang-orang bertanya tentang anak
dan menantunya.Apalagi mereka sering pula meninggalkan anak dan orang
tuanya.Tak bertanggung jawab.
***
“Sam pulang kapan, Mbah ?” selidik
Mali ,tetangga sebelah.
Pardi seolah tak mendengar.Masih
saja ia mengumpulkan kayu bakar.Lagi pula ,bukankah sudah beberapa kali lelaki
itu bertanya begitu.Tetapi diangkatnya pula matanya mencari Mali.
“Hmm… aku hanya kasihan sama kamu
,Mbah.Kamu bekerja keras sekali.
“Sudahlah…Aku tahu kamu tak tega
melihat aku seperti ini.Tetapi aku senang kok.Meski tanganku jadi kasar
begini.”
“Apakah kamu tidak marah pada anak
dan menantumu ?”tanya Mali ragu.
“Marah ?”karena apa ?
“Karena kamu ditinggal anak dan
menantumu.”
“Ha ha ha…Apa yang aku kesalkan
?Kepergian Heru untuk mencari uang.Mengapa aku harus kesal jika dengan
melepasnya cucuku semua akan bisa berdekolah.”
Mali hanya terpana.
“Subhanallah.Kamu memang orang yang sabar, Mbah.”
Pardi hanya tersenyum sedikit.Dalam
hati ia berdoa agar ucapan Mali menjadi doa yang didengar Allah.
“Tapi Mbah, kamu juga harus
memperhatikan dirimu.Jangan bekerja terlalu keras.Kalau kamu sakit bagaimana
?Siapa yang bekerja nanti ?”
“Kenapa kamu bertanya begitu ?”Tanya
Pardi sambil mengikat kayu bakar. “Apa karena kamu mendengar aku batuk beberapa
hari ini ?”
“Iya”
“Hmm…apa suara batukku menggagu
tidurmu ?”
“Oh tidak…tidak !Bukan begitu
maksudku ,Mbah.”Mali buru-buru menjelaskan. “Aku benar-benar khawatir.”
Pardi hanya tersenyum.Mendongak ke
atas di mana matahari sudah hampir mencapai kulminasi. “Aku sedang butuh banyak
uang.Lia mau kuantar sekolah tahun ini.Bulan depan sudah pendaftaran.”
“Ya aku tahu.Tetapi…”Mali tak
melanjutkan kalimatnya.Tiba-tiba saja Pardi pingsan di hadapannya.
“Tolong-tolong….”tak ada orang yang
mendengarnya.Seketika itu juga Mali langsung menggendong Pardi.Sesampainya
dirumah Pardi, Sulastri langsung memanggil cucunya untuk membantu Mali.
Setelah Mali menceritakan kejadian
yang dialami oleh Pardi, Mali pulang dan memberi tahu keadaan Pardi pada
orang-orang.
***
Malam itu orang-orang akan
mengadakan doa agar Pardi bisa cepat sembuh.Sedah hampir satu minggu Pardi
tidak ke masjid.Pardi memang tergolong orang yang rajin beribadah.
Pada saat dibacakan doa untuk
Pardi.Mali mendengar suara ramai sekali.Padahal orang yang ada di masjid tidak
ada dua puluh orang.Mali menoleh ke kanan-kirinya.Juga terdengar suara ramai
sekali di luar.
Mali segera kaluar.Namun begitu ia
berada di luar disadarinya ada yang aneh. “Amin…amin…amin…”terdengar banyak
sekali yang berkata amin.Maka dilebarkanlah kelopak matanya.Dilihatnya tak jauh
dari masjid seorang lelaki duduk bersila.Itu Heru, anak Pardi.Mulutnya terlihat
mengamini doa yang dibacakan dari masjid.
Namun telinga Mali mendengar suara
yang lebih ramai lagi mengamini doa dari masjiad.Suara itu datang dari
pahon-pohon di dekat masjid.Tentu saja Mali heran.
Tanpa mali sadari kakinya pun
melangkah mendekat.Dan alangkah terkejutnya ia ketika menyadari suara itu
memang benar-benar datang dari pohon-pohon dekat masjid.Mali menebalkan
matanya.Dan ia terbelalak menyaksikan pemandangan itu.Mereka punya
mulut.Suaranya ramai sekali.
“Subhanallah” jerit
Mali.Dan saat itulah ia merasakan tangan Pak Ustadz menepuk pipinya. “Bangun !”
katanya.
Keesokan paginya Mali datang ke
rumah Pardi.Ia mengetuk pintu rumah pardi.Ia ingin sekali menceritakan mimpinya
tadi malam kepada Pardi.Namun tak terlihat ada orang di rumah.
Ke mana orang-orang?Tanya
hatinya.Matanya terbelalak mendapatkan Pardi datang membawa legen.Tiba-tiba air
mata Mali mengalir.Segara didekapnya tubuh lelaki tua itu.
“Astagfirullah ! Mali
ada apa ini ?”Pardi tak mengerti ada apa dengan Mali.
Mali tak bisa berkata apa-apa.
Pardi semakin tak mengerti saja
melihat tingkah Mali.
0 komentar:
Posting Komentar