Mata Emakku melihatku
heran. Tidak biasanya aku menyetlika bajuk rapi seperti ini. Dan yang membuat
beliau lebih heran lagi adalah aku melakukannya sepulang sekolah. Tidak seperti
biasanya sebelum berangkat sekolah.
“Untuk apa to ngger
baju setelah dipakai disetlika lagi?” Tanya Ibuku sembari menyendongkan
pandangannya kearah lipatan bajuku.
“Ini mak… nanti mau
saya pakai pergi keluar…” jawabku sambil bingung mencari alasan.
“Keluar masa harus
pakai seragam sekolah…haruse ya ganti dulu to ngger !” Sahut Emakku
seperti curiga kepadaku. Ujung bola matanya seperti melihatku dari ujung kaki
sampai ujung rambut. Belum sempat aku menjawab Emakku sudah menyuruhku
memasikan benang ke sebuah jarum yang biasanya memang aku yang memasukan.
“Mana Mak…” sambil
menjulurkan tanganku kearah Emak. Biasanya memang aku yang memasukan. Walaupun
sulit karena mata kiriku pernah terkena petasan ketika aku masih kecil dulu.
Jika menggunakan dua mata sekaligus akan sulit bagiku. Jadi aku hanya
menggunakan mata kanannku saja. Sementara mata kiriku aku pejamkan.
Sambil sesekali
melirik kea rah jam di handphone aku seperti tergesa-gesa memasukan
benang. Bukannya cepat, justru lebih lama dari biasanya aku memasukan jarum.
Tanganku sudah mulai gemetar melihat jam dan benang.
“Akhirnya selesai
juga.” Ucapku lirih yang sayup—sayup terdengar Emakku.
“Sebenarnya kamu ini
mau pergi ke mana to ngger ?” Tanya Emak sekali lagi.
“Nanti saya mau ke
rumah Pak Yoga juga Mak, mengumpulkan tugas gambar teman-teman yang dititipkan
ke saya tadi sepulang sekolah.” Jawabku ke Emak supaya beliau tidak curiga.
Pak Yoga adalah guru
gambar bangunannku di sekolah. Beliau biasanya memberi tugas lalu disuruh
mengumpulkan pekerjaannya di meja kantornya. Tetapi, hari ini beliau meminta
untuk dikumpulkan di rumahnya karena ingin langsung direvisi dan berharap
keesokan harinya dapat diperbaiki oleh murid-muridnya.
Sebenarnya aku masih
meragukan pernyataanku tadi. Aku tahu kalau Emak masih menyimpan pertanyaan di
dalam kepalanya. Karena tidak biasanya aku berpakaian rapi seperti ini. Kalau
hanya untuk mengumpulkan tugas saja tidak perlu rapi juga tidak dipermasalahkan
oleh Pak yoga.
“Ya sudah hati-hati.”
Pesan Emak kepadaku.
“Iya Mak.” Kataku
seperti meletakan beban berat yang dari tadi seperti sengaja bertengger di
punggungku.
Dengan menenteng tasku
yang agak berat berisi tugas gambar teman sekelas aku berangkat. Sekaang tanpa
rasa was-was aku langsung menghidupkan sepeda motorku.
“Ini seperti mau
hujan, jadi nggak usah lama-lama!” Pesan Emak kepadaku.
“Iya Mak.” Tanpa sadar
mulutku langsung saja meng-iyakan perintah Emak tadi. Dan setelah itu langsung
saja aku putar tuas gas sepeda motorku.
Tidak seperti biasanya
aku berprilaku seperti ini kepada Emakku. Biasanya sebelum keluar rumah aku
selalu berpamitan dan mencium tangan beliau. Dan kalaupun lupa Emakku pasti
mengingatkanku kalau belum pamitan. Aneh. Ini sesuatu yang tidah biasa. Seperti
ada jalan lain untuk ceritaku hari ini. Sepertinya hari ini aku terus berbuat
tidak biasa dari pulang sendiri—biasanya bersama teman-teman. Sampai keluar
rumah tidak berpamitan pada Emak.
Sambil berfikir dan
merenung di jalan tanpa terasa sampai juga di depan rumah Pak Yoga. Setelah ku
parkir sepeda motorku aku langsung mengetuk pintu rumah. Betapa kagetnya aku. Dari
pintu rumah yang tidak tertutup itu yang keluar bukan Pak Yoga, melainkan
anjing peliharaan yang besar. Tanpa pikir panjang aku ambil saja sapo lantai
yang memiliki gagang panjang di samping pintu.
“Huss…huss..huss…”gertakku
sambil mengayun-ayunkan gagang sapu kearah anjing yang tampak tidak bersahabat
itu.
“Odinn..odinn… pergi
sana!” teriak lelaki setengah baya muncul dari balik lemari yang atasnya
dipenuhi dengan piala. Dari ukuran paling kecil sampai yang lumayan besar. Ini adalah
Pak Yoga. Teman-teman satu kelas memanggilnya Pak Bos—sapaan akrab untuk Pak
Yoga.
“Maaf Pak…. Saya kesini
ingin mengumpulkan tugas gambar teman-teman pak.” Ucapku setelah anjing yang
tidak bersahabat tadi kabur melihat tuannya. Sapu lantai yang gagangnya panjang
aku letakkan ditempat tadi aku mengambilnya.
“Ya sudah, silahkan
duduk. Sekalian sini saya lihat dulu!” jawab Pak Yoga.
“Ini pak….” Jawabku sambil
mengeluarkan setumpuk kertas A3 dari dalam tasku.
“Tugasnya saya terima…terimakasih…
mau minum apa?”tanya pak Yoga padaku sambil meletakkan tumpukan tugas tadi. Pak
Yoga memang salah satu guru faforit di kelasku. Orangnya yang dekat dengan
murid-murid dan kebiasaannya suka mentraktir teman-teman dikantin membuat
beliau difaforidkan. Termasuk aku juga, selain warga satu desa dengannku.
“Terimakasih pak, lain
kali saja. Saya langsung pulang saja pak, sepertinya juga mau hujan”. Terangku sambil
sesekali menengok keluar pintu karena sepertinya benar mau hujan.
“Ya kalau begitu,
langsung pulang! Jangan mampir-mampir!” kata pak Yoga juga sesekali melihat
keluar.
“Iya pak…saya pamit
dulu pak.” Sambil berdiri dan berpamitan aku keluar menuju sepeda motor yang
aku parkir.
“Hati-hati…langsung
pulang!” kata pak Yoga di depan pintu.
*****
Tanpa terasa sepeda motorku sudah sampai di depan sebuah
sekolah. Aku melihatnya duduk di depan gerbang sekolah bersama beberapa
temannya. Semuanya tampak rapi. Kepala meraka ditutupi oleh kerudung. Ya,
mereka semua berkerudung diantara ramai murid yang terlihat rambutnya di
rebonding.
Bersambung
0 komentar:
Posting Komentar