Home » » Jalanan Kandang Ayam

Jalanan Kandang Ayam

Written By mas muhlis on Jumat, 24 Oktober 2014 | 01.41

Mata Emakku melihatku heran. Tidak biasanya aku menyetlika bajuk rapi seperti ini. Dan yang membuat beliau lebih heran lagi adalah aku melakukannya sepulang sekolah. Tidak seperti biasanya sebelum berangkat sekolah.
“Untuk apa to ngger baju setelah dipakai disetlika lagi?” Tanya Ibuku sembari menyendongkan pandangannya kearah lipatan bajuku.
“Ini mak… nanti mau saya pakai pergi keluar…” jawabku sambil bingung mencari alasan.
“Keluar masa harus pakai seragam sekolah…haruse ya ganti dulu to ngger !” Sahut Emakku seperti curiga kepadaku. Ujung bola matanya seperti melihatku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Belum sempat aku menjawab Emakku sudah menyuruhku memasikan benang ke sebuah jarum yang biasanya memang aku yang memasukan.
“Mana Mak…” sambil menjulurkan tanganku kearah Emak. Biasanya memang aku yang memasukan. Walaupun sulit karena mata kiriku pernah terkena petasan ketika aku masih kecil dulu. Jika menggunakan dua mata sekaligus akan sulit bagiku. Jadi aku hanya menggunakan mata kanannku saja. Sementara mata kiriku aku pejamkan.
Sambil sesekali melirik kea rah jam di handphone aku seperti tergesa-gesa memasukan benang. Bukannya cepat, justru lebih lama dari biasanya aku memasukan jarum. Tanganku sudah mulai gemetar melihat jam dan benang.
“Akhirnya selesai juga.” Ucapku lirih yang sayup—sayup terdengar Emakku.
“Sebenarnya kamu ini mau pergi ke mana to ngger ?” Tanya Emak sekali lagi.
“Nanti saya mau ke rumah Pak Yoga juga Mak, mengumpulkan tugas gambar teman-teman yang dititipkan ke saya tadi sepulang sekolah.” Jawabku ke Emak supaya beliau tidak curiga.
Pak Yoga adalah guru gambar bangunannku di sekolah. Beliau biasanya memberi tugas lalu disuruh mengumpulkan pekerjaannya di meja kantornya. Tetapi, hari ini beliau meminta untuk dikumpulkan di rumahnya karena ingin langsung direvisi dan berharap keesokan harinya dapat diperbaiki oleh murid-muridnya.
Sebenarnya aku masih meragukan pernyataanku tadi. Aku tahu kalau Emak masih menyimpan pertanyaan di dalam kepalanya. Karena tidak biasanya aku berpakaian rapi seperti ini. Kalau hanya untuk mengumpulkan tugas saja tidak perlu rapi juga tidak dipermasalahkan oleh Pak yoga.
“Ya sudah hati-hati.” Pesan Emak kepadaku.
“Iya Mak.” Kataku seperti meletakan beban berat yang dari tadi seperti sengaja bertengger di punggungku.
Dengan menenteng tasku yang agak berat berisi tugas gambar teman sekelas aku berangkat. Sekaang tanpa rasa was-was aku langsung menghidupkan sepeda motorku.
“Ini seperti mau hujan, jadi nggak usah lama-lama!” Pesan Emak kepadaku.
“Iya Mak.” Tanpa sadar mulutku langsung saja meng-iyakan perintah Emak tadi. Dan setelah itu langsung saja aku putar tuas gas sepeda motorku.
Tidak seperti biasanya aku berprilaku seperti ini kepada Emakku. Biasanya sebelum keluar rumah aku selalu berpamitan dan mencium tangan beliau. Dan kalaupun lupa Emakku pasti mengingatkanku kalau belum pamitan. Aneh. Ini sesuatu yang tidah biasa. Seperti ada jalan lain untuk ceritaku hari ini. Sepertinya hari ini aku terus berbuat tidak biasa dari pulang sendiri—biasanya bersama teman-teman. Sampai keluar rumah tidak berpamitan pada Emak.
Sambil berfikir dan merenung di jalan tanpa terasa sampai juga di depan rumah Pak Yoga. Setelah ku parkir sepeda motorku aku langsung mengetuk pintu rumah. Betapa kagetnya aku. Dari pintu rumah yang tidak tertutup itu yang keluar bukan Pak Yoga, melainkan anjing peliharaan yang besar. Tanpa pikir panjang aku ambil saja sapo lantai yang memiliki gagang panjang di samping pintu.
“Huss…huss..huss…”gertakku sambil mengayun-ayunkan gagang sapu kearah anjing yang tampak tidak bersahabat itu.
“Odinn..odinn… pergi sana!” teriak lelaki setengah baya muncul dari balik lemari yang atasnya dipenuhi dengan piala. Dari ukuran paling kecil sampai yang lumayan besar. Ini adalah Pak Yoga. Teman-teman satu kelas memanggilnya Pak Bos—sapaan akrab untuk Pak Yoga.
“Maaf Pak…. Saya kesini ingin mengumpulkan tugas gambar teman-teman pak.” Ucapku setelah anjing yang tidak bersahabat tadi kabur melihat tuannya. Sapu lantai yang gagangnya panjang aku letakkan ditempat tadi aku mengambilnya.
“Ya sudah, silahkan duduk. Sekalian sini saya lihat dulu!” jawab Pak Yoga.
“Ini pak….” Jawabku sambil mengeluarkan setumpuk kertas A3 dari dalam tasku.
“Tugasnya saya terima…terimakasih… mau minum apa?”tanya pak Yoga padaku sambil meletakkan tumpukan tugas tadi. Pak Yoga memang salah satu guru faforit di kelasku. Orangnya yang dekat dengan murid-murid dan kebiasaannya suka mentraktir teman-teman dikantin membuat beliau difaforidkan. Termasuk aku juga, selain warga satu desa dengannku.
“Terimakasih pak, lain kali saja. Saya langsung pulang saja pak, sepertinya juga mau hujan”. Terangku sambil sesekali menengok keluar pintu karena sepertinya benar mau hujan.
“Ya kalau begitu, langsung pulang! Jangan mampir-mampir!” kata pak Yoga juga sesekali melihat keluar.
“Iya pak…saya pamit dulu pak.” Sambil berdiri dan berpamitan aku keluar menuju sepeda motor yang aku parkir.
“Hati-hati…langsung pulang!” kata pak Yoga di depan pintu.
*****
Tanpa terasa sepeda motorku sudah sampai di depan sebuah sekolah. Aku melihatnya duduk di depan gerbang sekolah bersama beberapa temannya. Semuanya tampak rapi. Kepala meraka ditutupi oleh kerudung. Ya, mereka semua berkerudung diantara ramai murid yang terlihat rambutnya di rebonding.

Bersambung


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Support : Twitter | Facebook | Cara Zaenal
Copyright © 2013. Belajar Cerpen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Belajar Cerpen
Proudly powered by Blogger