“Bagaimana kalian bertemu?” Ucapku
lirih ketika aku mengingatnya. Pertanyaan itulah yang sulit aku jawab. Mungkin.
Jujur aku sendiri lupa bagaimana kita bisa bertemu. Pertemuan pertama kita
tidak berkesan sama sekali. Tak ada kata cinta pada pandangan pertama. Karena kita
seperti tidak memiliki awal pertemuan. Tiba-tiba saja kau dan aku sudah memulai
suatu hubungan yang rumit. Menurutku. Iya menurutku, karena kau sendiri tidak
merasa seperti menjalani hubungan yang rumit. Kau tak terlihat memikirkan
masalah ini.
“Hanya teman biasa.” Hanya itulah
yang aku katakana ketika ada teman yang bertanya padaku perihal kedekatanku
denganmu. Aku mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada yang aku tutupi. Karena diantara
kita memang tidak ada hubungan yang spesial. Kau dan aku memang tetap teman
yang baik. Menurutmu. Itulah yang kau katakana. Tapi menurutku itu adalah
sebuah penolakan. Ya, sebuah penolakan sebelum aku mengutarakan isi hatiku
padamu. Tapi kau berbicara dengan senyumanmu. Sebuah senyuman yang manis. Senyumu
seperti air dari mata air yang jernih yang menyapu masalah yang selalu
membuatku sulit terpejam.
Aku masih sulit mengingatnya. Bagaimana
kita bertemu? Apakah kita diperkenalkan oleh seseorang? Tidak ada yang
memperkenalkan kita. Apakah kita berkenalan lewat jejaring sosial? Langsung aku
bantah sendiri, karena saat itu balum ada facebook atau yang lain. Jadi siapa
yang berasa memperkenalkan kita. Jika dari sekolah, menurutku sangat salah. Kita
tidak pernah berada pada satu sekolah yang sama. Tidak ada satupun kegiatan
yang membuat kita bertemu. Berjumpa dan menadi sahabat yang sangat baik.
Pernah sekali waktu aku
bertanya padamu. Bagaimana cara kita bertemu? Kau hanya memberikan jawaban
singkat disertai senyuman termanismu. Menurutku. “Apakah itu penting? Saat inilah
yang penting.” Itulah kata darimu yang membuatku berhenti menggali-gali
bagaimana kita bertemu. Aku hanya bisa menjawab dengan dibarengi candaan—tidak penting.
Iya, saat inilah yang penting—jawabku sekenanya. Sambil melemparkan sebuah bungkus
permen diatas kepalamu yang ditutupi kerudung.
Kuakui aku sangat
mengidolakanmu. Semua darimu adalah hal yang baik dan menyenangkan. Bahkan senyuman
dan kata-katamu saja sudah membuat dingin hatiku. Salah satu yang paling aku
ingat adalah ceritamu tentang Fatimah—putri kesayangan Nabi Muhamad SAW. Dari situ
aku tahu kau ingin seperti Fatimah. Dari keilmuan sampai penampilan. Dan pada
saat yang sama aku ingin menjadi Ali yang mendapatkan Fatimah. Dan aku berusaha
dan berjani pada diriku sendiri. Suatu saat aku akan mendapatan hatimu.
Insyaallah.
0 komentar:
Posting Komentar