Home » » Topi Bernama

Topi Bernama

Written By mas muhlis on Kamis, 27 Maret 2014 | 00.12


Saat pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak terlalu cantik. Bahkan tampilan fisiknya bisa disebut kuno. Dilihat dari segi penampilan saja aku sudah tidak tertarik padanya. Aku juga tidak mencium aroma parfum yang khas darinya. Yang aku tahu hanya parfum dari adikku. Satu-satunya yang terlihat jelas darinya adalah kain yang menutupi rambutnya. Ia perempuan yang selalu berkerudung.
Ia juga susah dimasukan kedalam kelompok perempuan supel yang gampang akrab. Bahkan aku bisa bercakap-cakap dengannya dalam arti yang sesungguhnya setelah nyaris putus asa. Hari pertama bertemu, aku hanya mendapatkan senyuman hambarnya. Aku belum mendapat sedikitpun alasan untuk tertarik padanya. Hari kedua bertemu, kami baru berjabat tangan, dan kusebut namaku, dan ia sebut namannya.
“Ouw, aku sudah tahu nama kamu. Lutvi sering bercerita tentang kamu. Kamu yang sering menjemputnya waktu pulang sekolah, kan ?”
Aku sedikit terkejut, padahal sudah menduga sebelumnya jika ia akan berkomentar seperti itu setelah kusebut namaku. Memeng benar, aku sering menjemput lutvi adikku waktu kami pulang bersamaan.
“Aku juga sudah mendengar cerita tentang kamu dari lutvi adikku itu. Aku juga tahu kalau kamu sering menunggu bus berdua didepan sekolah kalau dia tidak aku jemput.” Kataku yang kemudian dia sambut dengan sebuah senyuman.
Tetapi kekecewaanku lebih dari sekedar terobati setelah melihat cara dia berbicara dengan orang tua. Diantara teman-teman adikku yang waktu itu datang ke rumah hanya dia yang terlihat sangat sopan. Dia berbicara dengan Ibuku dengan bahasa yang halus. Tiba-tiba aku melihat dia dengan wajah baru, dengan kesegaran baru, dengan semangat baru. Tiba-tiba aku melihat auranya menjadi sedemikian cemerlang. Ia menjadi sangat menarik, bahkan sangat merangsang! Aku pun kasmaran. Benar sekali kata lukman, temanku, bahwa bagian tubuh paling seksi itu adalah otak!
Maka, begitu ia hendak pulang dari rumahku, aku pun ikut berdiri untuk menyalaminya, melihat penampilannya yang kuno tak jadi soal lagi. Ini adalah hari ketiga aku bertemu dengannya. Dan pada keesokan hari, aku harus meninggalkan kota dengan segudang sebutan ini: Kota Patria, Bumi Bungkarno, Kota Proklamator.
Hari ini sebelum aku pergi praktek industri, aku sengaja membolos sekolah untuk pergi keluar dengannya dengan tujuan agar aku bisa akrab dengannya. Dari sorot matanya aku tahu betul bahwa diam-diam dia mengagumiku. “Kamu sangat tepat waktu.” Pujinya saat aku datang. Aku tidak terkejut, tetapi sedikit kecewa. Sebenarnya aku ingin ia bilang aku tampan. Ah!
“Ayo kita berangkat !” tanpa mengetahui tujuan kemana sepeda motorku ini aku arahkan, aku langsung meninggalkan halaman sekolah yang mayoritas adalah perempuan itu.
“Kita mau ke mana ?”
“Oh, ya? Sebenarnya aku tadi tidak sempat sarapan, karena ibu tidak sempat membeli sayur tadi pagi”
“Apa kita makan dulu saja ?”
Sebentar kemudian kami sedah berada disebuah tempat makan yang berada tepat dipinggir jalan. Setelah itu, kami makan ikan bakar sama-sama, lalu berkeliling kota. Lelah naik sepeda motor, kami turun dan ngobrol sebentar. Lalu naik sepeda motor lagi, turun ngobrol sambil mekan kentang gorang: aneh, dipinggir jalan. Lalu, tiba-tiba kami sudah berada di pusat kota.
"Jika aku ingin memberimu tanda mata, apa yang kau inginkan?" Demikian pertanyaannya, sangat mengejutkanku! Dan yang lebih mengejutkanku lagi adalah jawaban spontanku, "Topi!"
“Oh, ya?
 “Tapi, aku ingin sebuah topi yang bertuliskan namamu. Kau mau membelikannya untukku? Lalu, sebagai kenang-kenangan dariku, apa yang sebaiknya kubelikan untukmu?”
“Baiklah, aku juga minta topi yang bertuiskan namamu.”
“Apakah permintaanku berlebihan?”
“Apakah permintaanku juga berlebihan?”

Aku tidak memberikan jawaban berupa kata-kata untuk pertanyaan itu. Tetapi kemudian aku penuhi permintaannya dan dipenuhi pula permintaanku. Kami, masing-masing mendapatkan sebentuk topi "bernama". Ada namaku pada topinya yang kubeli untuknya, dan ada namanya pada topi yang dia beli untukku. Aku merasa sangat senang, jika terlalu berlebihan untuk disebut bahagia. Rasanya seperti ketika waktu kanak-kanak dulu mendapatkan baju baru, atau hadiah menarik dari ayah atau ibu. Hatiku berbunga-bunga. Bunga warna-warni: merah, kuning, putih, biru.
Kemudian tibalah saat yang menyedihkan itu. Acara berakhir, aku harus mengantarkannya pulang, dan aku harus berpisah dengannya. Aku besok pagi sudah harus pergi ke Solo untuk praktek industri bersama teman-teman.
“Kau selalu di hatiku.” gombalku.
“Ah, terlalu dalam. Aku ingin berada di atas dadamu saja.”lucunya.
Tetapi aku tidak tertawa. Dia juga. Kami benar-benar sedih.
“Jangan bosan-bosan membalasnya, aku akan rajin mengirimimu SMS,”pintaku.
“Tentu. Bisa jadi aku akan lebih rajin mengirimimu.”
“Ya, kirimkan rinduku padamu.”
“Tentu”
Setelah mengantarkannya pulang, setibanya di rumah aku langsung mengatakan hampir semua yang aku alami bersamanya pada Lutvi, adikku. Sambil mengemasi barang-barang yang akan aku bawa besok pagi, tanpa aku sadari ternyata waktu sudah sudah malam dan aku harus beristirahat.
Setibanya di stasiun, ada perasaan yang tidak aku mengerti. Rasannya aku ingin satu hari saja menunda keberangkatannku dan tinngal di kota ini. Kini aku sedang meliuk-liuk diantara lahan persawahan dan pegunungan. Tetapi rasanya. Kini, aku sedang melayang-layang menyibak gugusan awan--memungutinya seperti kerang, lalu menukik tajam, bagai tersedot mulut jurang tanpa dasar itu: cinta! 
Berlama-lama aku memandangi sebentuk topi yang aku pegang ini. Lalu kulepas, kupandangi deretan huruf di lingkar luarnya, sebelum kemudian kupakai lagi, kulepas lagi, kupakai lagi… Pikiran dan perasaanku menjadi sangat sibuk. Seolah aku sudah tidak kuasa mengendalikan diri. Tiba-tiba aku sudah mengaktifkan hendphone. "Aku mulai gelisah, cemas, dan merasa kesepian. Aku merindukanmu!"  Dan tanpa aku berfikir panjang, aku lalu mengirimnya.
"Thing, thung, thing…." 
Ouw! Itu suara ponselku jika menerima SMS. 
"Oh, aku juga." 
"Aku yakin, aku sangat mencintaimu." 
"Rasanya, aku juga."
"Chpmshshmmmm…..!" 
"Mmmmuach…!" 
Di depan jendela kereta api, berlama-lama ku pandangi sebentuk topi yang berada di tanganku. Lalu, kulempar ke dalam keranjang sampah sebuah topi bernama yang kubangga-banggakan selama ini. Dan sambil sesekali membalas SMS "pacarku", aku pun mulai menulis, "Saat pertama melihat wajahmu, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia yang tidak cantik menurutku sebelumnya…."

***
Malang, 2012




Share this article :

8 komentar:

Popular Posts

 
Support : Twitter | Facebook | Cara Zaenal
Copyright © 2013. Belajar Cerpen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Belajar Cerpen
Proudly powered by Blogger