Saat
pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami
kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak terlalu cantik. Bahkan tampilan fisiknya
bisa disebut kuno. Dilihat dari segi penampilan saja aku sudah tidak tertarik
padanya. Aku juga tidak mencium aroma parfum yang khas darinya. Yang aku tahu
hanya parfum dari adikku. Satu-satunya yang terlihat jelas darinya adalah kain
yang menutupi rambutnya. Ia perempuan yang selalu berkerudung.
Ia
juga susah dimasukan kedalam kelompok perempuan supel yang gampang akrab.
Bahkan aku bisa bercakap-cakap dengannya dalam arti yang sesungguhnya setelah
nyaris putus asa. Hari pertama bertemu, aku hanya mendapatkan senyuman
hambarnya. Aku belum mendapat sedikitpun alasan untuk tertarik padanya. Hari
kedua bertemu, kami baru berjabat tangan, dan kusebut namaku, dan ia sebut
namannya.
“Ouw,
aku sudah tahu nama kamu. Lutvi sering bercerita tentang kamu. Kamu yang sering
menjemputnya waktu pulang sekolah, kan ?”
Aku
sedikit terkejut, padahal sudah menduga sebelumnya jika ia akan berkomentar
seperti itu setelah kusebut namaku. Memeng benar, aku sering menjemput
lutvi adikku waktu kami pulang bersamaan.
“Aku
juga sudah mendengar cerita tentang kamu dari lutvi adikku itu. Aku juga tahu
kalau kamu sering menunggu bus berdua didepan sekolah kalau dia tidak aku
jemput.” Kataku yang kemudian dia sambut dengan sebuah senyuman.
Tetapi
kekecewaanku lebih dari sekedar terobati setelah melihat cara dia berbicara
dengan orang tua. Diantara teman-teman adikku yang waktu itu datang ke rumah
hanya dia yang terlihat sangat sopan. Dia berbicara dengan Ibuku dengan bahasa
yang halus. Tiba-tiba aku melihat dia dengan wajah baru, dengan
kesegaran baru, dengan semangat baru. Tiba-tiba aku melihat auranya menjadi
sedemikian cemerlang. Ia menjadi sangat menarik, bahkan sangat merangsang! Aku
pun kasmaran. Benar sekali kata lukman, temanku, bahwa bagian tubuh paling
seksi itu adalah otak!
Maka,
begitu ia hendak pulang dari rumahku, aku pun ikut berdiri untuk menyalaminya,
melihat penampilannya yang kuno tak jadi soal lagi. Ini adalah hari ketiga aku
bertemu dengannya. Dan pada keesokan hari, aku harus meninggalkan kota dengan
segudang sebutan ini: Kota Patria, Bumi Bungkarno, Kota Proklamator.
Hari
ini sebelum aku pergi praktek industri, aku sengaja membolos sekolah untuk
pergi keluar dengannya dengan tujuan agar aku bisa akrab dengannya. Dari sorot
matanya aku tahu betul bahwa diam-diam dia mengagumiku. “Kamu sangat tepat
waktu.” Pujinya saat aku datang. Aku tidak terkejut, tetapi sedikit kecewa. Sebenarnya
aku ingin ia bilang aku tampan. Ah!
“Ayo
kita berangkat !” tanpa mengetahui tujuan kemana sepeda motorku ini aku
arahkan, aku langsung meninggalkan halaman sekolah yang mayoritas adalah
perempuan itu.
“Kita
mau ke mana ?”
“Oh,
ya? Sebenarnya aku tadi tidak sempat sarapan, karena ibu tidak sempat membeli
sayur tadi pagi”
“Apa
kita makan dulu saja ?”
Sebentar
kemudian kami sedah berada disebuah tempat makan yang berada tepat dipinggir
jalan. Setelah itu, kami makan ikan bakar sama-sama, lalu berkeliling kota.
Lelah naik sepeda motor, kami turun dan ngobrol sebentar. Lalu naik sepeda
motor lagi, turun ngobrol sambil mekan kentang gorang: aneh, dipinggir jalan.
Lalu, tiba-tiba kami sudah berada di pusat kota.
"Jika
aku ingin memberimu tanda mata, apa yang kau inginkan?" Demikian
pertanyaannya, sangat mengejutkanku! Dan yang lebih mengejutkanku lagi adalah
jawaban spontanku, "Topi!"
“Oh,
ya?
“Tapi,
aku ingin sebuah topi yang bertuliskan namamu. Kau mau membelikannya untukku?
Lalu, sebagai kenang-kenangan dariku, apa yang sebaiknya kubelikan untukmu?”
“Baiklah,
aku juga minta topi yang bertuiskan namamu.”
“Apakah
permintaanku berlebihan?”
“Apakah
permintaanku juga berlebihan?”
Aku
tidak memberikan jawaban berupa kata-kata untuk pertanyaan itu. Tetapi kemudian
aku penuhi permintaannya dan dipenuhi pula permintaanku. Kami, masing-masing
mendapatkan sebentuk topi "bernama". Ada namaku pada topinya yang
kubeli untuknya, dan ada namanya pada topi yang dia beli untukku. Aku merasa
sangat senang, jika terlalu berlebihan untuk disebut bahagia. Rasanya seperti
ketika waktu kanak-kanak dulu mendapatkan baju baru, atau hadiah menarik dari
ayah atau ibu. Hatiku berbunga-bunga. Bunga warna-warni: merah, kuning, putih,
biru.
Kemudian
tibalah saat yang menyedihkan itu. Acara berakhir, aku harus mengantarkannya
pulang, dan aku harus berpisah dengannya. Aku besok pagi sudah harus pergi ke
Solo untuk praktek industri bersama teman-teman.
“Kau
selalu di hatiku.” gombalku.
“Ah,
terlalu dalam. Aku ingin berada di atas dadamu saja.”lucunya.
Tetapi
aku tidak tertawa. Dia juga. Kami benar-benar sedih.
“Jangan
bosan-bosan membalasnya, aku akan rajin mengirimimu SMS,”pintaku.
“Tentu.
Bisa jadi aku akan lebih rajin mengirimimu.”
“Ya,
kirimkan rinduku padamu.”
“Tentu”
Setelah
mengantarkannya pulang, setibanya di rumah aku langsung mengatakan hampir semua
yang aku alami bersamanya pada Lutvi, adikku. Sambil mengemasi barang-barang
yang akan aku bawa besok pagi, tanpa aku sadari ternyata waktu sudah sudah
malam dan aku harus beristirahat.
Setibanya
di stasiun, ada perasaan yang tidak aku mengerti. Rasannya aku ingin satu hari
saja menunda keberangkatannku dan tinngal di kota ini. Kini aku sedang
meliuk-liuk diantara lahan persawahan dan pegunungan. Tetapi rasanya. Kini,
aku sedang melayang-layang menyibak gugusan awan--memungutinya seperti kerang, lalu menukik tajam, bagai
tersedot mulut jurang tanpa dasar itu: cinta!
Berlama-lama
aku memandangi sebentuk topi yang aku pegang ini. Lalu kulepas, kupandangi
deretan huruf di lingkar luarnya, sebelum kemudian kupakai lagi, kulepas lagi,
kupakai lagi… Pikiran dan perasaanku menjadi sangat sibuk. Seolah aku sudah
tidak kuasa mengendalikan diri. Tiba-tiba aku sudah mengaktifkan hendphone.
"Aku mulai gelisah, cemas, dan merasa kesepian. Aku
merindukanmu!" Dan tanpa aku berfikir panjang, aku lalu mengirimnya.
"Thing,
thung, thing…."
Ouw!
Itu suara ponselku jika menerima SMS.
"Oh,
aku juga."
"Aku
yakin, aku sangat mencintaimu."
"Rasanya,
aku juga."
"Chpmshshmmmm…..!"
"Mmmmuach…!"
Di
depan jendela kereta api, berlama-lama ku pandangi sebentuk topi yang berada di
tanganku. Lalu, kulempar ke dalam keranjang sampah sebuah topi bernama yang
kubangga-banggakan selama ini. Dan sambil sesekali membalas SMS
"pacarku", aku pun mulai menulis, "Saat pertama melihat wajahmu,
tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia
yang tidak cantik menurutku sebelumnya…."
***
Malang, 2012
komentar sudah aktif
BalasHapusbalasan sudah aktif
Hapusceritanya bagus gan, endingnya gak bisa ditebak
BalasHapustrimakasih kunjungan dn komentarnya gan
Hapuskalo masalah kejutan di ending mas ini emang jagonya
BalasHapuswah terlalu berlebihan mas
Hapusmbak kali mas
Hapusiya mkasih mbak
Hapus